INFO-PEMBEBASAN
Diterbitkan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Jl. Utan Kayu No. 17 A, Jakarta
Homepage: http://www.peg.apc.org/~prdint1
TREND POLITIK PASKA JATUHNYA SOEHARTO :
PEMBELAHAN BARU DAN ALIANSI BARU
Perlawanan mahasiswa dan rakyat yang berhasil memaksa Soeharto mundur telah membawa dampak yang jauh lebih dahsyat dari sekedar mundurnya Soeharto itu sendiri: merubah konfigurasi politik. Pembelahan baru dan aliansi-aliansi baru terus berproses, yang pada akhirnya nanti akan melahirkan sebuah pemerintahan koalisi baru dan koalisi oposisi baru.
Pembelahan-pembelahan baru berlangsung di sana-sini. Di kalangan Golkar, proses pembelahan sudah berlangsung sejak Orde Baru goyah bulan Mei lalu. Korps Wanita Indonesia (Kowani), Kosgoro, dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Posko-66, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), misalnya, yang merupakan elemen GOLKAR, telah mulai bersikap oposisi terhadap Soeharto sejak perlawanan mahasiswa mulai memunjukkan tanda-tanda akan menang. Bahkan, Kosgoro akhirnya memisahkan diri dari GOLKAR dan menjadi partai politik baru.
Di kalangan Islam, menjelang Soeharto jatuh sudah menunjukan sikap yang berbeda-beda. Kelompok ultra-kanan, seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Ikatan Cendekiawan Muslim Idonesia (ICMI) dan Persaudaran Pekerja Muslim, menunjukkan sikap yang sangat jelas mendukung Soeharto dan ABRI serta menentang kaum pro-demokrasi. Kelompok Islam yang lainnya, seperti partai Ummat Islam dan Partai Bulan Bintang, Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) menolak Pancasila dipaksakan sebagai asas semua organisasi di Indonesia (asas tunggal) dan menuntut dibentuknya negara federasi. Sedangkan kelompok lainnya, seperti NU/PKB
setuju dengan asas tunggal dan menolak negara federasi. Akhir-akhir ini, sikap partai-partai maupun organisasi Islam di Indonesia cukup rumit untuk diklasifikasi. Namun secara umum, dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok ultra-nanan yang beraliansi dengan militer. Mereka ini banyak dinilai memanipulasi Islam untuk kepentingan politik dari elit kelompok itu. Sikap mereka rasis dan tidak toleran terhadap agama lain, dan sering melakukan gerakan teror terhadap kaum pro-demokrasi, etnis Tionghoa dan ummat penganut agama lain. Akhir-akhir ini, kelompok ini berusaha menjegal Megawati dengan menelorkan isu tentang Fatwa Pemimpin Perempuan (larangan bagi seorang perempuan untuk menjadi presiden). Sedangkan kelompok besar lainnya adalah Islam Demokrat, sikap mereka demokratis dan toleran terhadap agama lain. Kelompok ini sejak dahulu beroposisi terhadap Soeharto. Sebagian kalangan Islam Demokrat cukup kritis terhadap ABRI, seperti NU/PKB. Sebagian lagi bersikap keras terhadap ABRI dan menuntut Dwi Fungsi ABRI dicabut, seperti pejuang Islam di Lampung, muslim di Tanjung Priok,
Muslim di Aceh, Himpunan Mahasiswa Islam, Partai Keadilan, Pelajar Islam Indonesia (PII),dan lain-lain.Sedangkan aliansi-aliansi baru juga mulai bermunculan di sana-sini. Di kalangan gerakan massa, yang didominasi oleh mahasiswa, yang sejak aksi-aksi menjelang penjatuhan Soeharto terbagi-bagi dalam dua kelompok besar, yaitu yang moderat dan yang radikal, terus-menerus mengalami proses kristalisasi. Proses pembelahan dan penyatuan terus berlangsung. Pada mulanya, di Jakarta terdapat 3 kelompok besar, yaitu Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), yang mereprenstasikan kekuatan kritis mahasiswa; Forum Kota yang merupakan front para aktivis
mahasiswa radikal dari berbagai kampus di Jakarta; dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang merupakan representasi kekuatan Islam Demokrat dalam gerakan mahasiswa. Namun menjelang SI MPR, para aktivis mahasiswa telah menemukan sebuah platform bersama, yaitu : menolak Sidang Istimewa, menolak militerisme dan Menuntut pengadilan
Soeherto.Pada mulanya, para mahasiswa belum menemukan platform bersama. Kelompok FKSMJ dan KAMMI, misalnya, pada mulanya hanya menolak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta menolak Soeharto, kurang banyak berbicara mengenai strategi politik, karena mereka tidak menyetujui gerakan politik namun memilih "gerakan moral". Sedangkan aktivis Forkot lebih berbicara pada perubahan sistem politik.
Akhir-akhir ini, hampir seluruh kelompok mempunyai tuntutan politik, sekalipun para mahasiswa sendiri merasa tidak sedang melakukan gerakan politik, melainkan gerakan moral. Secara garis besar, sikap mahasiswa terbagi kedalam dua kelompok besar. Pertama, adalah mereka yang tidak
menolak SI/MPR namun menekan agar SI MPR tersebut menghasilkan keputusan-keputusan yang demokratis. Namun, yang mayoritas, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya adalah yang menolak SI MPR.Dalam hal ini, kelompok-kelompok yang sebelumnya mempunyai platform politik berbeda dapat bersatu. Misalnya tanggal 28 Oktober lalu, di Jakarta FKSMJ, FORKOT, KOMRAD, FORBES, FAMRED bersatu dalam koalisi yang bernama AKRAB. Bahkan, kelompok-kelompok mahasiswa tersebut mulai bergabung dengan kelompok buruh seperti KOBAR dan sektor rakyat lain, misalnya Komite Pendukung Megawati (KPM). Ini suatu kemajuan yang besar, sebab selama ini mahasiswa sulit bersatu dengan sektor rakyat yang lain, karena terprovokasi oleh propaganda militer yang mengatakan bahwa jika mahasiswa bersatu dengan rakyat akan mengakibatkan kerusuhan. Akibat
provokasi itu, terjadi pembelahan dalam FORKOT, kelompok yang setuju beraliansi dengan rakyat bersikap agak kekanak-kanakan sehingga menarik diri dari FORKOT, tanpa berusaha menjelaskan kepada kawan-kawannya di FORKOT bahwa provokasi militer itu tidak masuk akal.Namun, pada aksi hari pertama SI MPR, aliansi dalam AKRAB kembali terbelah oleh persoalan yang kurang prinsipil. FORKOT melakukan aksi sendiri, sedang kelompok lainnya dalam AKRAB, kecuali FKSMJ, juga melakukan aksi sendiri. Namun, dalam hal tuntutan dan strateginya keduanya masih satu, yaitu :menolak Sidang Istimewa, menolak Dwi Fungsi ABRI, Menuntut pengadilan terhadap Soeharto dan pembentukan Pemerintahan Sementara. Sedikit berbeda dengan yang lain, FKSMJ, yang tadinya juga bersatu dalam AKRAB, kemarin mengadakan aksi camping di kediaman
Megawati dan di rumah Gus Dur. Mereka "memaksa" tokoh-tokoh elit oposisi moderat, seperti Megawati, Gus Dur, Amien Rais dan Sultan Hamengku Buwono X untuk membentuk presidium, semacam pemerintahan sementara yang nantinya menyelenggarakan pemilihan umum. Namun, rupanya tokoh-tokoh yang dipuja-puja itu mempunyai strategi sendiri, sehingga mereka tetap
menerima SI dan menganggap Habibie sebagai presiden transisi, tidak ada sikap para figur itu mengenai presidium tersebut.Sedangkan di daerah-daerah, proses kristalisasi juga terus berlangsung. Kelompok-kelompok mahasiswa Islam pro-demokrasi sudah sekitar sebulan terakhir ini melakukan aksi aliansi dengan kelompok-kelompok agama lain maupun yang sekuler. Dalam hal tuntutan, memang sudah mulai jelas platformnya.
Sedangkan PRD sendiri melihat perjuangan membebaskan para Tapol Islam dan advokasi terhadap teror para kiai di Jawa Timur dan tempat lain merupakan salah satu program prioritas. Dari data terakhir, antara lain yang dikeluarkan oleh Front Sabilillah dan lembaga-lembaga HAM, jumlah
tapol Islam adalah yang paling banyak dan paling sedikit diadvokasi. Sedangkan dari laporan mereka yang diculik dan disekap oleh militer pun, ternyata banyak aktivis Islam, seperti aktivis Negara Islam Indonesia (NII), Aktivis Aceh, aktivis Lampung dan Tanjung Priok merupakan
kelompok yang anggotanya paling banyak diculik dan paling berat mengalami siksaan, bahkan sebagian dari mereka telah dieksekusi. Selain atas dasar fakta itu, PRD melihat bahwa kekuatan Islam merupakan kekuatan demokratisasi yang sangat penting, sehingga aliansi semua kekuatan pro-demokrasi dengan kekuatan Islam merupakan kunci dari kemenangan demokrasi karena mampu memblokade kekuatan ultra-kanan yang memanipulasi Islam untuk melakukan aksi teror politik. Hanya kelompok Islam Demokrat sendiri lah yang bisa mencegah usaha manipulasi Islam
untuk gerakan teror yang dilakukan militer bersama para kriminal terorganisir dan ultra-kanan.STRATEGI GERAKAN MASSA DAN STRATEGI ELITIS
Di kalangan oposisi, secara umum terdapat dua stregi perjuangan yang berbeda, yaitu strategi elitis dan strategi gerakan massa. Kedua strategi yang berbeda ini bukan hal yang baru, sudah ada di Indonesia selama ini dan selalu ada di negara-negara lain. Selama Soeharto berkuasa, kaum oposisi moderat melilih jalan elitis, semacam melalui dialog, melalui gerakan budaya, melalui statemen dan mendesakkan konsesi-konsesi demokratis. Ini bukan berarti mereka sama sekali tidak melakukan aksi massa, tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amien Rais dan Megawati sesekali memobilisasi massa sebagai pressure, untuk mempengaruhi penguasa agar mengubah kebijakan. Namun, aksi massa ini
bukan merupakan sebuah gerakan, namun merupakan sebuah taktik. Sedangkan gerakan mereka adalah gerakan elitis. Sedangkan oposisi elitis lain, yang tidak mempunyai organisasi dengan jumlah anggota besar, seperti Emil Salim, Ali Sadikin, Kemal Idris, dan lain-lain tidak pernah memobilisasi massa, namun sesekali datang dan berbicara pada aksi-aksi massa, terutama setelah gerakan massa yang dialkukan mahasiswa membesar.Sedangkan kelompok-kelompok yang menggunakan gerakan aksi massa sebagai strategi perjuangannya, selalu menggunakan aksi massa sebagai metode utamanya. Gerakan aksi massa ini dibangun dari aksi-aksi kecil di kampus, aksi-aksi buruh, aksi-aksi advokasi terhadap kasus rakyat dan lain-lain. Gerakan aksi massa ini semakin membesar, dan menjadi sangat menentukan sejak menjelang jatuhnya Soeharto. Besarnya gerakan massa ini didukung oleh beberapa kondisi obyketif di Indonesia, seperti krisis ekonomi, runtuhnya legitimasi lembaga-lembaga politik formal, dan yang
lebih penting adalah gagalnya strategi elitis. Strategi dialog, terutama dengan DPR, dan statemen tidak pernah menghasilkan perubahan yang riil, sehingga kepercayaan dengan apa yang sering disebut dengan "cara-cara konstitusional" itu semakin hancur.Jatuhnya kepercayaan terhadap strategi elitis, tidak secara otomatis menjatuhkan kepercayaan terhadap oposisi elitis tersebut. Sampai sekarang tokoh-tokoh seperti Megawati, Gus Dur, Amien Rais dan bahkan Sultan Hamengku Buwono yang merupakan tokoh Golkar itu sendiri masih sangat besar. Mereka menjadi figur-figur yang masih menjadi tumpuan harapan. Tumpuan harapan tersebut, tentu bukan terhadap strateginya, namun terhadap ketokohannya. Bahkan massa, termasuk beberapa kelompok mahasiswa, yang merupakan kelompok yang paling politis, hampir tidak
pernah menilai strategi mereka.Banyak pakar politik menganalisa bertahannya figur-figur elitis itu karena mereka memang merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai massa riil. Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais, misalnya, mereka adalah tokoh-tokoh pemimpin organisasi yang mempunyai anggota dengan jumlah terbesar.
Namun, analisa ini sesungguhnya lemah. Sebab, sesungguhnya keanggotaan seseorang terhadap suatu organisasi dan dukungan terhadap suatu tokoh adalah bukan untuk seumur hidup. Seorang tokoh atau suatu organisasi dengan mudah bisa ditinggalkan oleh pendukungnya, jika mereka sudah
tidak lagi dipandang baik oleh pendukungnya. Kedua, sesungguhnya tidak ada otoritas yang kuat antara para elit itu terhadap massa pendukungnya. Sebagai contoh, ketika mulai banyak kerusuhan yang terjadi di basis-basis NU sejak tahun 1986, Gus Dur berkali-kali mengingatkan agar warga NU tidak melakukan kerusuhan, namun tetap saja kerusuhan terus terjadi. Atau, ketika terjadi uprising bulan Mei lalu, misalnya, Megawati atau Gus Dur atau Amien Rais tidak membuat seruan, tapi massa tetap saja termoblisasi. Contoh lainnya, ketika menjelang mobilisasi massa tanggal 20 Mei, beberapa hari setelah kerusuhan itu, pada pagi hari Amien Rais menyerukan kepada rakyat dan mahasiswa melalui TVRI dan di tanyangkan oleh TV-TV swasta agar tidak melakukan aksi, tapi tetap saja aksi terus berjalan. Atau contoh lainnya lagi, ketika mahasiswa Forkot memperjuangkan pembentukan Komite Rakyat Indonesia sebagai Pemerintahan Sementara, Amien bukan hanya menolaknya tapi juga bersikap seperti para jenderal dengan mengatakan bahwa konsep itu konsep
komunis. Tapi, tuntutan pemerintahan sementara semakin menguat dan bahkan kelompok FKSMJ sendiri juga menuntut Pemerintahan Presidium.Hal yang lebih tepat untuk menjelaskan bertahannya ketokohan oposisi elitis itu sebenarnya ada tiga hal pokok :
- Kuatnya sisa-sisa feodalisme terutama dalam budaya dan politik,
- Mereka adalah figur-figur yang mempunyai kesempatan di lembaga-lembaga formal, dan
- Tidak munculnya figur di kalangan gerakan massa itu sendiri.
Sisa-sisa feodalisme dalam hal budaya dan politik ini, nampak jelas sekali dari keterpakuan sebagian aktivis mahasiswa maupun mayoritas rakyat pada figur-figur elit. Sikap patronase. Terhadap Megawati misalnya, dukungan terhadapnya lebih didorong karena faktor figur besar Almarhum Soekarno. Terhadap Sultan Hamengku Buwono, misalnya, dukungan terhadapnya karena ia merupakan seorang sultan yang mana nilai-nilai moralnya dianggap sebagai panutan. Dukungan terhadap Gus Dur, misalnya, karena adanya budaya politik tradisional (patronse) dalam rubuh NU.
Sikap patronase juga berlaku terhadap figur-figur lain yang populer, misalnya terhadap Ali sadikin, terhadap Nasution, terhadap Kemal Idris, dan lain-lain. Kalangan gerakan massa sendiri menganggap figur-figur elit sangat penting peranannya, setidaknya sebagai taktik, dalam mencari
dukungan massa luas, walaupun sebenarnya tidak begitu banyak sumbangannya bagi aksi-aksi massa mereka. Sebagai contoh, kedatangan Amien Rais, atau Emil Salim, atau Kemal Idris dalam aksi massa mahasiswa adalah kedatangan mereka sendirian, sementara massa telah termobilisasi.Figur-figur itu sendiri menjadi begitu dikenal karena mereka pernah mempunyai kesempatan di lembaga-lembaga formal. Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Emil Salim, dan lain-lain adalah orang-orang yang duduk dalam lembaga formal yang diakui oleh pemerintah. Kesempatan berada di
lembaga formal tersebut sangat besar artinya bagi kesempatan mereka untuk dikenal oleh khalayak luas, karena mereka berkesempatan membangun organisasinya bahkan mendapat dana dari pemerintah, berkesempatan tampil di media massa, dan lain-lain. Ketika mereka mengambil posisi kritis terhadap pemerintah, mereka mendapat sambutan luar biasa di kalangan massa yang anti-pemerintah, sekalipun para figur itu sendiri menyatakan tidak beroposisi terhadap pemerintah. Ketrika pemerintah mulai goyah, figur-figur ini semakin kritis dan sambutan oleh massa semakin besar lagi. Amien Rais misalnya, di saat massa menuntut pengunduran diri Soeharto tadinya baru menuntut pembersihan KKN dan menyatakan "memberi kesempatan" terhadap Soeharto selama 6 bulan untuk memperbaiki krisis ekonomi. Setelah Soeharto menjelang jatuh oleh aksi-aksi mahasiswa (walau belum genap 6 bulan seperti 'kesempatan" yang diberikan oleh Amien Rais), tokoh-tokoh ini menyerukan Soeharto mundur, dan tokoh-tokoh itu menjadi pahlawan .Sementara itu, di kalangan gerakan massa mahasiswa itu sendiri belum muncul tokoh yang populer. Tidak adanya tokoh di kalngan mereak sendiri membuat mereka menokohkan elit-elit politik, yang sebenarnya berbeda dalam hal strategi perjuangan. Sementara itu, di kalangan mahasiswa sendiri muncul semacam konsesus untuk tidak menoklohkan orang-orang diantara mereka. Sebabnya adalah adanya semacam trauma terhadap oportunisme yang menjangkiti para tokoh gerakan mahasiswa sebelumnya, yang pada akhirnya tokoh-tokoh populer gerakan mahasiswa tersebut
"menjual" gerakan mahasiswa dengan cara konsesi dengan elit militer dan elit politik sipil.Nampaknya, kristalisasi ini akan selesai setelah pemilu nanti. Para elit politik moderat dan beberapa partai baru lebih senang menggunakan pemilu dan sistem politik lama sebagai jalan perjuangannya. Megawati dan Gus Dur selalu mengatakan bahwa perjuangan harus dicapai dengan jalan "konstitusional". Amien Rais, lebih-lebih, ia menolak mentah-mentah sistem baru seperti pemerintahan sementara. Bahkan Amien Rais nampak tidak setuju dengan perubahan sistem, dalam wawancaranya dengan Radio Republik Indonesia (RRI) kemarin (10/11/1998) mengatakan, bahwa bagi dia adalah yang penting saat ini adalah mencrai pemimpin yang mentalitasnya baik, walaupun kita mempunyai sistem yang baik kalau mental pemimpinnya kampungan tentunya tidak baik akibatnya.
Tapi, persoalannya sistem lama mulai bangkrut: parlemen kehilangan legitimasi, sidang umum ditolak. Dan, kalau pemilu masih berlangsung di bawah sistem lama, ia juga aka kehilangan legitimasi. Dan kalau ini yang terjadi, sistem politik lama akan bangkrut. Artinya : chaos. Lalu, apakah kita masih bersikukuh berjuang melalui sistem lama yang bangkrut atau membuat sistem baru, membuat Pemerintahan Sementara dan Dewan Rakyat ? ***